Kenapa Banyak Gen Z Resign? Antara “Lingkungan Toxic” vs Keputusan Emosional
- Indri S
- Oct 10
- 3 min read
Belakangan banyak cerita soal anak muda yang keluar kerja karena merasa kantornya toxic. Timeline sosial media pun penuh curhatan soal bos yang nggak supportive, jam kerja yang gila, dan budaya kantor yang bikin burnout. Tapi menariknya, nggak semua kasus sesederhana itu.
Ada yang benar-benar keluar karena lingkungan kerja yang buruk, tapi ada juga yang mungkin resign karena keputusan emosional. Kadang bukan kantornya yang salah, tapi memang belum cocok sama ritme dan budaya kerjanya.
Mari kita lihat dari dua sisi.

Data Bicara: Gen Z Memang Paling Gampang Pindah Kerja
Studi dari The ASPD Journal dengan 539 responden Gen Z di Indonesia menemukan ada 26 faktor yang bisa mendorong niat untuk keluar kerja. Faktor terbesarnya datang dari beban kerja, stres, dukungan organisasi, dan kepuasan kerja.
Penelitian lain dari Society FISIP UBB menegaskan hal yang sama. Work-life balance dan kepuasan kerja punya pengaruh langsung terhadap performa. Kalau dua hal itu rusak, niat buat cabut meningkat.
Laporan ResearchGate tentang quiet quitting juga menyebut hal menarik. Beban kerja berlebih secara langsung menurunkan kepuasan kerja. Dan saat kepuasan kerja turun, karyawan mulai diam-diam mencari jalan keluar.
Bahkan survei global dari Deloitte 2025 menemukan bahwa Gen Z menempatkan keseimbangan hidup dan kesehatan mental di posisi teratas ketika memilih tempat kerja.
Jadi, secara data, alasan “lingkungan kerja toxic” itu memang punya dasar kuat.
Ketika Lingkungan Kerja Gen Z Benar-Benar Bermasalah
Ada banyak pola yang berulang di tempat kerja yang dianggap toxic. Mulai dari beban kerja berlebihan, atasan yang sulit diajak komunikasi, sampai budaya lembur yang dianggap normal.
Beberapa riset di Indonesia juga menunjukkan hal yang sama. Lingkungan kerja yang tidak kondusif berdampak besar pada kepuasan dan performa kerja Gen Z. Riset dari ResearchGate misalnya, menunjukkan bahwa atmosfer kantor yang positif bisa meningkatkan kinerja secara signifikan.
Artinya, klaim bahwa “banyak Gen Z resign karena tempat kerja toxic” bukan omong kosong. Masalahnya nyata, dan efeknya bisa serius terhadap produktivitas dan kesehatan mental.
Tapi, Ada Sisi Lain Kenapa Gen Z Cepat Resign yang Jarang Dibahas
Di sisi lain, ada juga fenomena “resign karena emosi.” Bukan karena tempatnya seburuk itu, tapi karena keputusan diambil di puncak stres.
Psikolog kerja di Forbes (2025) bahkan menyebut istilah baru: revenge quitting. Fenomena ketika anak muda keluar kerja dengan cara dramatis sebagai bentuk balas dendam atas rasa tidak dihargai.
Ada juga kasus yang lebih halus. Rasa cemas setiap Minggu malam, atau Sunday Scaries, jadi pemicu banyak Gen Z meninggalkan pekerjaan mereka. Menurut HR Grapevine, banyak yang akhirnya keluar karena tidak tahan dengan kecemasan menjelang minggu kerja baru.
Faktor lainnya? Ekspektasi. Gen Z tumbuh di era yang menormalisasi fleksibilitas, karier bermakna, dan pekerjaan yang “harus sesuai passion.” Ketika realita kantor nggak seperti itu, rasa kecewa cepat muncul.
Sebuah survei dari The Interview Guys Blog mencatat 72% Gen Z pernah menolak atau keluar dari pekerjaan karena kurang fleksibilitas. Dan menurut ADP Research, 46% Gen Z lebih memilih menganggur daripada bertahan di pekerjaan yang tidak membuat mereka bahagia.
Kadang bukan kantornya yang salah, tapi karakter dan gaya kerja yang memang nggak nyatu. Budaya yang terlalu kaku bisa bikin stres bagi orang yang lebih senang suasana kolaboratif.
Jadi, Mana yang Salah? Kantor atau Emosi?
Cara paling mudah membedakannya: lihat prosesnya.
Kalau masalah di kantor sudah lama, banyak orang juga merasa terganggu, dan semua usaha komunikasi ke manajemen mentok, besar kemungkinan lingkungan kerjanya memang bermasalah.
Tapi kalau keputusannya muncul di tengah emosi, tanpa usaha bicara dulu, atau karena satu-dua konflik kecil, mungkin itu keputusan impulsif. Apalagi kalau pola “gampang nggak cocok” ini berulang di tempat kerja berikutnya.
Bisa jadi bukan karena dunia kerja terlalu keras, tapi karena belum terbiasa berkompromi dengan perbedaan gaya kerja.
Bagi Gen Z, Ini yang Perlu Diingat
Nggak ada tempat kerja yang sempurna. Selalu ada gesekan, kadang bikin kesal, kadang bikin tumbuh.Sebelum memutuskan resign, coba tanya diri sendiri: apakah masalahnya bisa diselesaikan lewat komunikasi? Apakah keputusan ini diambil dalam kondisi tenang?
Kalau jawabannya tidak, mungkin yang kamu butuh bukan keluar, tapi waktu untuk menata ulang ekspektasi.
Bagi Perusahaan, Jangan Asal Menyalahkan
Banyak manajer yang terlalu cepat menyimpulkan “Gen Z itu nggak tahan banting.” Padahal, kadang mereka cuma butuh struktur kerja yang lebih terbuka, komunikasi dua arah, dan ruang buat berkembang.
Karyawan muda bisa jadi aset besar kalau perusahaan paham cara mengelolanya. Ciptakan budaya kerja yang sehat, fleksibel, dan punya arah yang jelas. Fokus pada kesejahteraan mental, bukan cuma target.
Fenomena Gen Z yang resign bukan cuma soal manja atau lingkungan kerja yang keras. Ini tentang dua hal yang sama-sama valid: budaya kantor yang harus lebih manusiawi, dan generasi muda yang perlu belajar mengelola emosi dan ekspektasi.
Mungkin kuncinya ada di tengah: tempat kerja yang lebih sadar, dan pekerja muda yang lebih siap menghadapi realita. Karena di dunia profesional, bertahan itu bukan berarti pasrah. Kadang itu tanda bahwa kamu cukup dewasa untuk melihat masalah dari dua sisi.



Comments